Galat skrip tidak ada modul tersebut "Infobox". Ibrahim bin Adham bahasa Arab إبراهيم بن أدهم; Ibrāhīm bin Adham adalah seorang arif besar yang hidup semasa dengan tiga imam Syiah Imam Sajjad as, Imam Baqir as, dan Imam Shadiq as. Namanya tidak termaktub dalam kitab-kitab referensi kuno ilmu rijal. Akan tetapi, menurut pandangan sebagian ulama, ia adalah seorang Syiah yang beraliran sufi. Ibrahim bin Adham berasal dari keluarga ternama dan penguasa kawasan Balkh. Akan tetapi, ia secara tiba-tiba beralih orientasi ke dunia kezuhudan tidak terikat kepada dunia dan materi. Setelah bertobat, ia berangkat menuju Mekkah dan berjumpa dengan para pembesar sufi di kota ini, seperti Sufyan al-Tsauri dan Fudahil al-'Iyadh. Setelah beberapa waktu, ia berpindah ke Syam dan berdomisili di daerah ini hingga akhir usia. Ibrahim bin Adham dikenal sebagai sumber silsilah aliran-aliran tarekat sufi, seperti Tarekat Adhamiyyah dan Tarekat Naqsyabandiyyah. Banyak karya di bidang irfan yang menjelaskan tentang biografi, nasehat serta sejarah perilaku dan perbuatan Ibrahim Adham. Ia berpandangan bahwa menikah dan mempunyai keturunan tidak sesuai dengan kezuhudan. Syaqiq al-Balkhi adalah salah satu murid Ibrahim Adham. Biografi Ibrahim bin Adham bin Sulaiman bin Manshur al-Balkhi adalah salah seorang tokoh sekte kezuhudan[1] dan arif pada abad kedua Hijriah.[2] Julukannya adalah Abu Ishak[3] dan disebut juga dengan al-'Ijli.[4] Ibrahim bin Adham dilahirkan dalam sebuah keluarga berkebangsaan Persia[5] atau bangsa Arab bani Tamim[6] di kota Balkh pada tahun 80 H[7] atau 100 H.[8] Kota Balkh kala itu termasuk dalam teritorial kekuasaan Khurasan.[9] Menurut keyakinan al-Dzahabi, penulis kitab Tarikh al-Islam, ia lahir di kota Mekkah ketika orang tuanya berkunjung ke kota ini untuk menjalankan ibadah haji.[10] Ibrahim dan para leluhurnya termasuk amir,[11] penguasa,[12] dan pembesar kota Balkh.[13] Akan tetapi, menurut laporan sumber-sumber sejarah, ia meninggalkan takhta singgasana kemewahan, memilih hidup zuhud, melakukan suluk, dan memerangi hawa nafsu.[14] Banyak buku dan kitab termasuk kitab dalam bidang irfan memuat biografi, perilaku, dan nasihat-nasihat Ibrahim bin Adham.[15] Sebagian sumber seperti Tadzkirat al-Auliya' karya Aththar Naisyaburi juga menyebutkan, Ibrahim bin Adham pernah berjumpa dengan Nabi Khidir as, dan juga mengetahui isim teragung ilahi Ism al-A'dham.[16] Memilih Zuhud Sumber-sumber referensi keislaman menyebutkan aneka ragam faktor mengapa Ibrahim bin Adham lebih memilih zuhud dan meninggalkan dunia. Faktor-faktor ini antara lain adalah ia mendengar suara gaib ketika ingin berangkat berburu,[17] seekor rusa yang berbicara,[18] atau ia menyaksikan seorang pekerja kasar yang bisa menikmati hidup dengan fasilitas yang sangat minim.[19] Menurut pengakuan Ibrahim bin Adham sendiri, ia memilih zuhud dan meninggalkan dunia lantaran beberapa faktor ini takut terhadap kesendirian di alam kubur, perjalanan panjang hari Kiamat dengan perbekalan yang tidak cukup, dan kemurkaan Allah swt sedangkan ia tidak memiliki alasan yang bisa diandalkan.[20] [catatan 1] Dalam keyakinan Ibrahim bin Adham, diperlukan beberapa syarat untuk memasuki dunia zuhud dan menggapai peringkat orang-orang saleh. Antara lain adalah menutup pintu nikmat dan membuka pintu kesengsaraan, menutup pintu kemuliaan dan membuka pintu kehinaan, menutup pintu kesantaian dan membuka pintu usaha keras, menutup pintu tidur dan membuka pintu keterjagaan, menutup pintu ketidakbutuhan dan membuka pintu kebutuhan, serta menutup pintu angan-angan dan membuka pintu kematian.[21] Menurut penilaian Muhsin Qara'ati, seorang penulis kontemporer, zuhud yang diinginkan oleh Ibrahim bin Adham bertentangan dengan arti zuhud yang didefinisikan oleh Islam[22] serta dilarang dan dicerca oleh Rasulullah saw.[23] Ibrahim menilai, pernikahan dan menghasilkan keturunan bertentangan dengan zuhud,[24] serta mengasingkan diri dari masyarakat adalah sesuatu yang wajib dilakukan.[25] Hijrah ke Makkah dan Syam Setelah bertobat, Ibrahim bin Adham berpindah ke kota Naisyabur. Ia berdiam diri selama 9 tahun di dalam gua di sebuah gunung yang bernama al-Batsra'.[26] Setelah itu, ia pergi ke Makkah.[27] Al-Dzahabi, seorang sejarawan Ahlusunah, menyebutkan, Ibrahim keluar dari kota Balkh karena takut kepada Abu Muslim al-Khurasani.[28] Di Mekah, ia berkenalan dengan para arif seperti Sufyan al-Tsauri dan Fudhail bin 'Iyadh.[29] Tidak lama berlalu, ia berpindah ke Syam.[30] Menurut para ulama, ia berhasil menyebarluaskan zuhud dan irfan di Syam.[31] Wafat Banyak sumber yang berbeda dalam mencatat tahun wafat Ibrahim bin Adham 160 H,[32] 161 H,[33] 162 H,[34] atau 166 H.[35] Ia meninggal dunia secara natural.[36] Sekalipun demikian, sebagian ahli sejarah berkeyakinan, ia wafat dalam sebuah peperangan melawan bangsa Romawi[37] di daerah Suqain, sebuah daerah yang kala itu berada dalam kekuasaan imperium Romawi.[38] Kuburan Ibrahim bin Adham juga diperdebatkan. Menurut sebuah pandangan, ia dimakamkan di Shur, sebuah kota kawasan pantai di Syam.[39] Kedudukan Ibrahim bin Adham, di samping Hasan al-Bashri w. 110 H, Malik bin Dinar, Rabi'ah al-'Adawiyyah, Syaqiq al-Balkhi, dan Makruf al-Karkhi w. 200 H, termasuk tingkatan pertama irfan dan tasawuf dalam Islam.[40] [catatan 2] Menurut keyakinan sebagian ulama, nama sufi melejit terkenal pada masa hidup Ibrahim bin Adham.[41] Para sufi asal Balkh, termasuk Ibrahim bin Adham, banyak terpengaruh oleh aliran tasawuf Bashrah. Untuk itu, mereka berlebihan dalam berzuhud, beribadah, takut, dan berkomitmen untuk hidup miskin.[42] Ibrahim bin Adham juga terpengaruh oleh tokoh-tokoh besar tasawuf seperti Hasan al-Bashri dan Sufyan al-Tsauri.[43] Sekalipun demikian, aliran tasawuf Syam juga sangat terpengaruh oleh Ibrahim bin Adham.[44] Perubahan dalam zuhud, ibadah, dan riadat-riadat sufi adalah manifestasi pengaruh Ibrahim ini.[45] Ibrahim bin Adham juga adalah seorang muhadis.[46] Namanya sangat dipuji dalam kitab-kitab rijal Ahlusunah serta disebut sebagai sahabat Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsauri.[47] Abu Hanifah, pemimpin Mazhab Hanafiah,[48] dan Junaid al-Baghdadi menyebut Ibrahim bin Adham dengan julukan-julukan yang penuh penghormatan,[49] dan julukan-julukan ini juga banyak digunakan dalam syair-syair irfani para arif.[50] Akan tetapi, menurut Zainuddin al-Syirwani 1194-1253 H, seorang penulis dan penyair sufi, nama Ibrahim bin Adham tidak pernah disebutkan dalam kitab-kitab rijal Syiah terdahulu.[51] Sayid Muhsin al-A'raji al-Kazhimi 1130-1227 H, seorang fakih Syiah, menyebut Ibrahim bin Adham bersama Kumail bin Ziyad, Busyr bin Harits al-Mirwazi, dan Bayazid al-Basthami sebagai ahli ilmu rijal Syiah yang beraliran sufi.[52] Ibrahim bin Adham dikenal sebagai pencetus silsilah beberapa tarekat sufi.[53] Untuk itu, tarekat Adhamiyyah[54] dan Naqsyabandiyyah berkeyakinan bersambung kepada Imam Sajjad as melalui perantara Ibrahim ini.[55] [catatan 3] Hubungan dengan Para Imam Maksum Ibrahim bin Adham hidup semasa dengan Imam Sajjad as, Imam Baqir as, dan Imam Shadiq as. Sumber-sumber referensi juga mencatat hubungannya dengan para imam Syiah ini. Menurut sebagian sumber, ia senantiasa menjalin hubungan dekat Imam Sajjad as.[56] Pertemuan Ibrahim bin Adham dengan Imam Zainal Abidin as, serta wejangan beliau untuknya juga termaktub dalam sumber-sumber referensi Syiah.[57] Zainal Abidin al-Syirwani menyebutkan, Ibrahim bin Adham pernah berjumpa dengan Imam Baqir as,[58] dan Muhammad Kazhim Asrar Tabrizi 1265-1315 H, seorang penyair dan sufi di masa dinasti Qajar, menyebut Ibrahim bin Adham termasuk salah seorang pengikut setia Imam Baqir as.[59] Beberapa hadis Imam Baqir as disebutkan dalam kitab-kitab referensi hadis melalui riwayat Ibrahim bin Adham.[60] Dalam kitab Safinat al-Bihar dan beberapa sumber yang lain diriwayatkan, ketika Imam Shadiq as ingin keluar dari Kufah menuju Madinah, Ibrahim bin Adham turut mengantar beliau.[61] Menurut beberapa sumber yang lain, ia termasuk salah seorang khadim pelayan Imam Shadiq as.[62] Guru dan Murid Ibrahim bin Adham meriwayatkan hadis dari Imam Baqir as, Muhammad bin Ziyad al-Jumahi, Abu Ishak, Malik bin Dinar, al-A'masy, dan ayahnya sendiri.[63] Murid Ibrahim bin Adham yang paling masyhur adalah Syaqiq al-Balkhi yang juga merupakan arif besar dan murid Imam Kazhim as.[64] Menurut pandangan yang masyhur,[65] Syaqiq adalah hasil didikan langsung Ibrahim bin Adham,[66] atau sahabat seperjuangannya.[67] Dalam Syair dan Sastra Metode hidup, perilaku, dan nasihat-nasihat Ibrahim bin Adham terefleksikan dalam syair-syair yang dilantunkan oleh para penyair, terutama para arif, secara luas. Semua ini terjelmakan dalam syair-syair dengan aneka ragam tema, seperti biografi,[68] kisah tobat dan memilih zuhud,[69] faktor hijrah,[70] perjumpaan dengan Nabi Khidir as,[71] putra kita,[72] munajat,[73] keramat,[74] hikayat,[75] dan tema-tema yang lain. Pranala Terkait Fudhail bin 'Iyadh Hasan al-Bashri Makruf al-Karkhi Catatan Kaki ↑ Al-Sahruwardi, 'Awārif al-Ma'ārif, 1375 S, hlm. 4. ↑ Thabathaba'i, Syi'eh dar Eslām, 1378 S, hlm. 110. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15; al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub, 1375 S, hlm. 128. ↑ Ibn Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, 1407 H, jld. 1, hlm. 135. ↑ Pirjamal Ardestani, Mir'at al-Afrad, 1371 S, hlm. 332. ↑ Al-Dzahabi, Tārīkh al-Islām, 1413 H, jld. 10, hlm. 44; Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 129. ↑ Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 129. ↑ Al-Dzahabi, Siyar A'lām al-Nubalā', 1406 H, jld. 7, hlm. 387-388. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15. ↑ Al-Dzahabi, Tārīkh al-Islām, 1413 H, jld. 10, hlm. 45. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15. ↑ Mutahhari, Majmū'eh-ye Ātsār, 1377 S, hlm. 48. ↑ Al-Dzahabi, Tārīkh al-Islām, 1413 H, jld. 10, hlm. 45; al-Kharazmi, Yanbūʻ al-Asrār, 1384 S, jld. 1, hlm. 377. ↑ Sajjadi, Farhangg-e Maʻāref-e Eslāmī, 1373 S, jld. 1, hlm. 126; Mutahhari, Majmū'eh-ye Ātsār, 1377 S, hlm. 327. ↑ Sebagai contoh, silakan rujuk Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā’, 1905 M, hlm. 94; Qusyairi, Risālah Qusyairiyyah, 1374 S, hlm. 345, 430, dan 455; al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub, 1375 S, hlm. 129; al-Mustamili al-Bukhari, Syarh al-Taʻarruf li Madzhab al-Tashawwuf, 1363 S, jld. 1, hlm. 226; al-Nasafi, Rāz-e Rabbāniy-e Asrārul Wahy-e Subhānī, 1378 S, hlm. 127 dan 163; Sahruwardi, Awārif al-Maʻārif, 1375 S, hlm. 3; al-Ghazali, Terjemah kitab Ihyā' 'Ulūm al-Dīn, 1386 S, jld. 3, hlm. 185; al-Sullami, Majmūʻat Ātsār al-Sullami, 1369 S, jld. 1, hlm. 366; al-Ghazali, Kimiya-ye Saʻādat, 1383 S, jld. 1, hlm. 363; al-Meibudi, Kasyf al-Asrār wa Uddat al-Abrār, 1371 S, jld. 5, hlm. 451; al-Samʻani, Ruh al-Arwah fi Syarh Asma’ al-Malik al-Fattah, 1384 S, hlm. 169 dan 513; Anshariyan, Erfan-e Eslami, 1386 S, jld. 2, hlm. 462; Mesykini, Nasayeh wa Sokhanan-e Chahardah Ma'shum wa Hezar-o-yek Sokhan, 1382 S, hlm. 165; Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 92; Faidh Kasyani, Rah-e Rousyan, 1372 S, jld. 5, hlm. 220; al-Dailami, Terjemah Irsyad al-Qulub, 1349 S, jld. 2, hlm. 277; al-Karajiki, Nuzhat al-Nawazhir fi Tarjumat Maʻdan al-Jawāhir, Teheran, hlm. 77; Jami, Nafahat al-Uns, 1858 M, hlm. 4. ↑ Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā', 1905 M, hlm. 88; al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 11; Ibnu Khamis al-Mushili, Manaqib al-Abrar wa Mahasin al-Akhyar fi Thabaqat al-Shufiyyah, 1427 H, jld. 1, hlm. 51. ↑ Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, 1407 H, jld. 1, hlm. 135; Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15; Ibnu al-Mulaqqin, Thabaqat al-Auliya', 1427 H, hlm. 37; al-Manawi, al-Kawakib al-Durriyyah di Tarajum al-Sadah al-Shufiyyah, 1999 M, jld. 1, hlm. 195; Zaqzuq, Mausuʻat al-Tashawwuf al-Islami, 1430 H, hlm. 202; Ibnu Khamis al-Mushili, Manaqib al-Abrar wa Mahasin al-Akhyar fi Thabaqat al-Shufiyyah, 1427 H, jld. 1, hlm. 51. ↑ Al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub, 1375 S, hlm. 128. ↑ Mazhahiri, Akhlaq wa Jawan, 1387 S, jld. 1, hlm. 103. ↑ Mesykini, Nasayeh wa Sokhanan-e Chahardah Ma'shum wa Hezar-o-yek Sokhan, 1382 S, hlm. 165. ↑ Al-Sahruwardi, 'Awārif al-Ma'ārif, 1375 S, hlm. 3. ↑ Qara'ati, Gonah-syenasi, 1386 S, hlm. 197. ↑ Qara'ati, Gonah-syenasi, 1386 S, hlm. 197. ↑ Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā, 1905 M, hlm. 93; Kasyani, Majmu'eh-ye Rasa'el wa Mushannafat Kasyani, 1380 S, hlm. 54; Syahid Tsani, Munyat al-Murid, 1409 H, hlm. 228; Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 92. ↑ Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 92. ↑ Al-Zubaidi, Taj al-'Arus min Jawahir al-Qamus, 1414 H, jld. 6, hlm. 47. ↑ Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā', 1905 M, hlm. 87. ↑ Al-Dzahabi, Tārīkh al-Islām, 1413 H, jld. 10, hlm. 44. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15; Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 129. ↑ Ibnu al-Mulaqqin, Thabaqat al-Auliya, 1427 H, hlm. 37. ↑ Lembaga Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Budaya Islam Hasanat Isfahan, Seiri dar Sepehr-e Akhlaq, 1389 S, jld. 1, hlm. 107. ↑ Al-Kharazmi, Yanbū' al-Asrār, 1384 S, jld. 1, hlm. 377. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15; Ibnu al-Mulaqqin, Thabaqat al-Auliya’, 1427 H, hlm. 39; Ruzbehan Tsani, Tuhfat Ahl al-'Irfan, 1382 S, hlm. 21. ↑ Ibnu 'Imad al-Hanbali, Syadzarat al-Dzahab, 1406 H, jld. 2, hlm. 282; Pirjamal Ardestani, Mir'at al-Afrad, 1371 S, hlm. 332. ↑ Al-Kharazmi, Yanbū' al-Asrār, 1384 S, jld. 1, hlm. 377. ↑ Al-Kharazmi, Yanbū' al-Asrār, 1384 S, jld. 1, hlm. 377, menukil dari Tadzkirat al-Auliya'. ↑ Ruzbehan Tsani, Tuhfat Ahl al-'Irfan, 1382 S, hlm. 21. ↑ Al-Zubaidi, Taj al-Arus min Jawahir al-Qamus, 1414 H, jld. 13, hlm. 232; Al-Kharazmi, Yanbū' al-Asrār, 1384 S, jld. 1, hlm. 377. ↑ Ibnu al-Mulaqqin, Thabaqat al-Auliya', 1427 H, hlm. 39. Untuk mengetahui pandangan yang lain, silakan rujuk al-Zirikli, al-A'lam, 1989 M, jld. 1, hlm. 31. ↑ Ahmadpur, Ketab-syenakht-e Akhlaq-e Eslami, laporan analisis tentang warisan aliran-liran akhlak Islam, 1385 S, hlm. 37. ↑ Ahmadpur, Ketab-syenasi-ye Akhlaq-e Eslami, laporan analistis tentang warisan aliran-liran akhlak Islam, 1385 S, hlm. 37. ↑ Al-Sullami, Majmū'at Ātsār Abu Abdirrahman al-Sullami, 1369 S, jld. 1, hlm. 385. ↑ Lembaga Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Budaya Islam Hasanat Isfahan, Seiri dar Sepehr-e Akhlaq, 1389 S, jld. 1, hlm. 107. ↑ Lembaga Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Budaya Islam Hasanat Isfahan, Seiri dar Sepehr-e Akhlaq, 1389 S, jld. 1, hlm. 107. ↑ Lembaga Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Budaya Islam Hasanat Isfahan, Seiri dar Sepehr-e Akhlaq, 1389 S, jld. 1, hlm. 107. ↑ Ensiklopedia Besar Islam, jld. 1, hlm. 405, kosa kata Ibrahim bin Adham. ↑ Al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 12. ↑ Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā’, 1905 M, hlm. 86. ↑ Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā’, 1905 M, hlm. 85. ↑ Al-Asiri al-Lahiji, Asrar al-Syuhud fi Maʻrifat al-Haqq al-Ma'bud, hlm. 182. ↑ Al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 11. ↑ Al-A'raji al-Kazhimi, 'Uddat al-Rijal, 1415 H, jld. 2, hlm. 60. ↑ Al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 7; Mirza Syirazi, Manahij Anwar al-Ma'rifah fi Syarh Mishbah al-Syari'ah, 1363 S, jld. 1, hlm. 645. ↑ Gulpinarli, Maulana Jalaluddin, 1363 S, hlm. 246; Masykur, Farhangg-e Feraq-e Eslami, 1372 S, hlm. 309. ↑ Mirza Syirazi, Manahij Anwar al-Maʻrifah fi Syarh Mishbah al-Syari'ah, 1363 S, jld. 1, hlm. 645. ↑ Al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 190. ↑ Namazi Syahrudi, Mustadrakat 'Ilm Rijal al-Hadits, 1414 H, jld. 1 , hlm. 118; al-Qummi, Safinat al-Bihar, 1414 H, jld. 1, hlm. 289. ↑ Al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 190. ↑ Al-Tabrizi, Manzhar al-Auliya', 1388 S, hlm. 140. ↑ Ibnu Thawus, Muhaj al-Da'awat wa Manhaj al-'Ibadat, 1411 H, hlm. 75. ↑ Al-Qummi, Safinat al-Bihar, 1414 H, jld. 1, hlm. 289; Ibnu Syahr Asyub, Manaqib Al Abi Thalib, 1379 H, jld. 4, hlm. 241. ↑ Al-Jaza'iri, Riyadh al-Abrar fi Manaqib al-A'imma al-Athhar, 1427 H, jld. 2, hlm. 136; Ibnu Syahr Asyub, Manaqib Al Abi Thalib, 1379 H, jld. 4, hlm. 248; al-Majlisi, Zendegani-ye Hazrat-e Emam Shadiq as, 1398 H, hlm. 22. ↑ Al-Dzahabi, Tārīkh al-Islām, 1413 H, jld. 10, hlm. 44. ↑ Sajjadi, Farhangg-e Maʻāref-e Eslāmī, 1373 S, jld. 1, hlm. 106. ↑ Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 124. ↑ Shafi Alisyah, Irfan al-Haqq, 1371 S, hlm. 121; Mutahhari, Majmū’eh-ye Ātsār, 1377 S, hlm. 48. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 18. ↑ Syah Ni'matullah Wali, Diwan-e Syah Ni'matullah Wali, 1380 S, hlm. 996; Aththar Naisyaburi, Elahi-nameh-ye Aththar, 1355 H, hlm. 21; Al-Asiri al-Lahiji, Asrar al-Syuhud fi Maʻrifat al-Haqq al-Ma'bud, hlm. 182. ↑ Khalkhali, Rasa'el-e Farsi-ye Adham Khalkhali, 1381 S, hlm. 141. ↑ Maulawi, Matsnawi Maulawi, 1373 S, hlm. 520. ↑ Aththar Naisyaburi, Elahi-nameh-ye Aththar, 1355 H, hlm. 277. ↑ Aththar Naisyaburi, Manthiq al-Thair, 1373 H, hlm. 232. ↑ Aththar Naisyaburi, Elahi-nameh-ye Aththar, 1355 H, hlm. 402. ↑ Maulawi, Matsnawi Maulawi, 1373 S, hlm. 279. ↑ Aththar Naisyaburi, Mushibat-nameh, 1354 H, hlm. 225; Maulawi, Diwan-e Kabir-e Syams, 1384 S, hlm. 717; Aththar Naisyaburi, Elahi-nameh-ye Aththar, 1355 H, hlm. 69; Faidh Kasyani, Diwan-e Faidh Kasyani, 1381 S, jld. 4, hlm. 79; Aththar Naisyaburi, Mazhhar al-'Aja'ib wa Mazhhar al-Asrar, 1323 S, hlm. 98; Faidh Kasyani, Erfan-e Matsnawi, 1379 S, hlm. 178. ↑ Masih terdapat faktor-faktor lain yang mendorong Ibrahim bin Adham untuk memilih zuhud. Untuk informasi lebih detail, silakan rujuk Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā’, 1905 M, hlm. 86; Fathimi, Ganineh-ye Akhlaq, Jami’ al-Durar Fathimi, 1384 S, jld. 2, hlm. 154; al-Mustamili al-Bukhari, Syarh al-Ta'arruf li Madzhab al-Tashawwuf, 1363 S, jld. 1, hlm. 202. ↑ Sekalipun demikian, menurut keyakinan sebagian ulama, sebagian sahabat Imam Ali as, seperti Salman al-Farisi, Uwais al-Qarani, Kumail bin Ziyad, Rasyid al-Hijri, dan Maitsam al-Tammar, berada dalam tingkatan pertama irfan. Para arif meletakkan figur-figur agung ini berada di atas silsilah mereka Thabathaba'i, Syi'eh dar Eslam, 1378 S, hlm. 110. ↑ Sebagian ulama berkeyakinan, Ibrahim bin Adham dalam tarekat memiliki silsilah kepada Imam Ali as melalui Fudhail bin 'Iyadh, dari Fudhail melalui Abdulwahid bin Zaid, dari Abdulwahid melalui Kumail bin Ziyad, dan dari Kumail kepada Amirul Mukminin as al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 38. Tarekat Chasytiyyah menerima silsilah ini al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 38. Meskipun sebagian ulama berkeyakinan, Adhamiyyah dan Chasytiyyah bersambung kepada Imam Baqir as melalui Ibrahim bin Adham al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 38; al-Syirwani, Bustan al-Siyahah, 1315 S, jld. 1, hlm. 347. Begitu pula, tarekat Husainiyyah bersambung kepada Imam Baqir as melalui Ibrahim bin Adham al-Syirwani, Bustan al-Siyahah, 1315 S, jld. 1, hlm. 346. Referensi Ibnu al-Mulaqqin, Umar bin Ali al-Mishri. cet. 2, 1427 H. Thabaqat al-Auliya', Beirut Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah. Ibnu Khamis al-Mushili, Husain bin Nashr bin Muhammad. 1427 H. Manaqib al-Abrar wa Mahasin al-Akhyar fi Thabaqat al-Shufiyyah, Beirut Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah. Ibnu Syahr Asyub al-Mazandarani, Muhammad bin Ali. 1379 H. Manaqib Al Abi Thalib, Qom Allameh. Ibnu Thawus, Ali bin Musa. 1411 H. Muhaj al-Da'awat wa Manhaj al-'Ibadat, Qom Dar al-Dzakha'ir. Ibnu Imad al-Hanbali, Abul Falah Syihabuddin. 1406 H. Syadzarat al-Dzahab fi Akhbari Man Dzahab, diteliti ulang oleh al-Arna'uth, Beirut Dar Ibnu Katsir. Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Ismail bin Umar. 1407 H. Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Beirut Dar al-Fikr. Ahmadpur, Mahdi. 1385 S. Ketab-syenasi-ye Akhlaq-e Eslami, Qom Pusat Penelitian Ilmu dan Budaya Islam. Al-Asiri al-Lahiji, Muhammad. Asrar al-Syuhud fi Ma'rifat al-Haqq al-Maʻbud, Al-Aʻraji al-Kazhimi, Muhsin bin Hasan. 1415 H. 'Uddat al-Rijal, Qom Ismailiyan. Anshariyan, Husain. 1386 S. Erfan-e Eslami Syarh Mishbah al-Syari'ah, Qom Dar al-'Irfan. Pirjamal Ardestani. cet. 1, 1371 S. Mir'at al-Afrad, Teheran Penerbit Zuwwar. Al-Tabrizi, Muhammad Kazhim bin Muhammad. 1388 S. Manzhar al-Auliya’, Teheran Perpustakaan dan Pusat Dokumen Majelis Syura Islami. Jami, Abdurrahman. 1858 M. Nafahat al-Uns, Kalkutta Penerbit Laisi. Al-Jaza'iri, Ni'matullah bin Abdullah. 1427 H. Riyadh al-Abrar fi Manaqib al-A'imma al-Athhar, Beirut Muassasah al-Tarikh al-'Arabi. Al-Kharazmi, Kamaluddin Husain. 1384 S. Yanbū' al-Asrār, Teheran Asosiasi Warisan dan Kebanggaan Budaya. Ensiklopedia Besar Islam. 1374 S. Teheran Pusat Ensiklopedia Besar Islam. Al-Dailami, Hasan bin Muhammad. 1349 S. Terjemah Irsyad al-Qulub, Teheran Toko Buku Jamhari. Al-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad. 1413 H. Tārīkh al-Islām wa Wafayat al-Masyahir wa al-A'lam, diteliti ulang oleh Umar Abdussalam al-Tadmuri, Beirut Dar al-Kitab al-'Arabi. Mirza Syirazi, Abul Qasim. cet. 2, 1363 S. Manahij Anwar al-Ma'rifah fi Syarh Mishbah al-Syari'ah, Teheran Khan-qah Ahmadi. Ruzbehan Tsani, Ibrahim bin Shadruddin. cet. 2, 1382 S. Tuhfat Ahl al-'Irfan, Teheran Yalda Qalam. Al-Zubaidi, Muhammad Murtadha. 1414 H. Taj al-'Arus min Jawahir al-Qamus, Beirut Dar al-Fikr. Al-Zirikli, Khairuddin. 1989 M. Al-A'lam, Beirut Dar al-Malayin. Zaqzuq, Mahmud Hamdi. 1430 H. Mausu'at al-Tashawwuf al-Islami, Kairo Kementerian Wakaf Mesir. Sajjadi, Sayyid Ja'far. 1373 S. Farhangg-e Ma'āref-e Eslāmī, Teheran Penerbit Universitas Teheran. Al-Sullami, Muhammad bin Husain. cet. 2, 1424 H. Thabaqāt al-Shūfiyyah, Beirut Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah. Al-Sullami, Muhammad bin Husain. 1369 S. Majmū'at Ātsār al-Sullami, Teheran Markas Penerbitan Danesygahi. Al-Samʻani, Ahmad. cet. 2, 1384 S. Ruh al-Arwah fi Syarh Asma' al-Malik al-Fattah, Teheran Entesyarat-e 'Elmi wa Farhanggi. Al-Sahruwardi, Syihabuddin Abu Hafsh. 1375 S. Awārif al-Ma'ārif, terjemah Abu Manshur al-Isfahani, Teheran Entesyarat-e 'Elmi wa Farhanggi. Syahid Tsani, Zainuddin bin Ali. 1409 H. Munyat al-Murid, Qom Maktabah al-I'lam al-Islami. Al-Syirwani, Zainul Abidin. 1361 S. Riyadh al-Siyahah, Teheran Entesyarat-e Sa'di. Shafi Alisyah, Muhammad Hasan bin Muhammad Baqir. cet. 2, 1371 S. Irfan al-Haqq, Teheran Shafi Alisyah. Thabathaba'i, Muhammad Husain. cet. 13, 1378 S. Syiʻeh dar Eslām', Qom Daftar-e Nasyr-e slami. Aththar Naisyaburi, Fariduddin. cet. 1, 1905 M. Tadzkirat al-Auliyā’, Percetakan Liden. Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. cet. 11, 1383 S. Kimiya-ye Saʻādat, Teheran Entesyarat-e 'Elmi Farhanggi. Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. cet. 6, 1386 S. Ihya' 'Ulum al-Din, terjemah Mu'yyiduddin al-Kharazmi, Teheran Entesyarat-e 'Elmi Farhanggi. Faqir Estahbanati, Ali. 1377 S. Khārābāt dar Bayan-e Hekmat, Syoja'at, Effat, wa Edalat, Teheran Ayeneh-ye Mirats. Faidh Kasyani, Muhammad bin Syah Murtadha. 1372 S. Rah-e Rousyan, Masyhad Astaneh-ye Qods-e Rezawi. Qara'ati, Muhsin. cet. 8, 1386 S. Gonah-syenasi, Teheran Pusat Budaya Darshai az Quran. Qusyairi, Abul Qasim Abdulkarim. cet. 4, 1374 S. Risālah Qusyairiyyah, Teheran Teheran Entesyarat-e 'Elmi wa Farhanggi. Al-Qummi, Abbas. 1414 H. Safinat al-Bihar, Qom Usweh. Kasyani, Abdurrazzaq. cet. 2, 1380 S. Majmu'eh-ye Rasa'el wa Mushannfat-e Kasyani, Teheran Mirats-e Maktub. Lembaga Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Budaya Islam Hasanat Isfahan. 1389 S. Seiri dar Sepehr-e Akhlaq, Qom Shahifeh-ye Kherad. Al-Karajiki, Muhammad bin Ali. Nuzhat al-Nawazhir fi Tarjumat Ma'dan al-Jawāhir, Teheran Eslamiyyeh. Gulpinarli, Abdulbaqi. cet. 3, 1363 S. Maulana Jalaluddin, terjemah Taufik Subhani, Teheran Yayasan Riset Kebudayaan. Al-Majlisi, Muhammad Baqir. cet. 2, 1398 H. Zendegani-ye Hazrat-e Emam Shadiq as, terjemah Musa Khosrawi, Teheran Eslamiyyeh. Al-Mustamili al-Bukhari, Ismail. 1363 S. Syarh al-Taʻarruf li Madzhab al-Tashawwuf, Teheran Entesyarat-e Asathhir. Masykur, Muhammad Jawad. cet. 2, 1372 S. Farhang-ge Feraq-e Eslami, Masyhad Astanh-ye Qods-e Rezawi. Mesykini Ardebili, Ali. cet. 24, 1382 S. Nasayeh wa Sokhanan-e Chahardah Ma'shum wa Hezar-o-yek Sokhan, Qom Nasyr al-Hadi. Mutahhari, Murtadha. cet. 8, 1377 S. Majmū’eh-ye Ātsār, Teheran Shadra. Mazhahiri, Husain. cet. 4, 1387 S. Akhlaq wa Jawan, Qom Syafaq. Al-Manawi, Muhammad Abdurra'uf. 1999 M. Al-Kawakib al-Durriyyah di Tarajum al-Sadah al-Shufiyyah, Beirut Dar al-Shadir. Al-Meibudi, Abul Fadhl Rasyiduddin. cet. 5, 1371 S. Kasyf al-Asrār wa 'Uddat al-Abrār, Teheran Entesyarat-e Amir Kabir. Al-Nasafi, Azizuddin. 1378 S. Rāz-e Rabbāniy-e Asrārul Wahy-e Subhānī, Teheran Entesyarat-e Amir Kabir. Namazi Syahrudi, Ali. 1414 H. Mustadrakat 'Ilm Rijal al-Hadits, Teheran putra penulis. Al-Hujwiri, Abul Hasan Ali. cet. 4, 1375 S. Kasyf al-Mahjub, Teheran Thahuri. vte Sahabat-sahabat Imam Baqir asAshabul Ijma' Zurarah bin A'yan • Buraid bin Muawiyah al-'Ijli • Ma'ruf bin Kharrabudz • Fudhail bin Yasar • Muhammad bin MuslimPerawi-perawi lain Abu Jarud • Aban bin Abi 'Ayyasy • Abu Bashir al-Asadi • Abu Hamzah al-Tsumali • Abu Khalid al-Kabuli • Bukayr bin A'yan • Jabir bin Yazid al-Ju'fi • Humran bin A'yan • Khalid bin Abi Karimah • Khaytsamah bin Abdurrahman• Abdul Malik bin A'yan • Layts bin Bakhtari al-Muradi• Aban bin TaglibKarenaIshaq tinggal di Palestina. Ketiga, Allah menyifati Nabi Ismail 'alaihissalâm dengan nabi yang penyabar (Al-Anbiya ayat 85), karena kesabaran menerima cobaan untuk disembelih. Allah juga menyifatinya sebagai nabi yang menepati janji (Maryam ayat 54), karena ia bersedia untuk disembelih dan membantu ayahnya, Nabi Ibrahim
Makam Syeikh Ibrahim bin Adham - Ibrahim ibn Adham lahir di Balkh dengan nama Abu Ishak Ibrahim bin Adham pada tahun 168 Hijriah atau 782 Masehi. Ibrahim bin Adham merupakan seorang raja di Balkh yakni sebuah daerah tempat awal perkembangan ajaran Budha. Kisah Ibrahim bin Adham adalah satu kisah yang cukup menonjol di masa awal kesufian. Ibrahim bin Adham terlahir dari keluarga bangsawan Arab yang dalam sejarah sufi ia sangat dikenal karena meninggalkan kerajaannya dan memilih menjalani latihan pengendalian tubuh dan jiwa sama seperti yang dilakukan oleh Budha Sidharta. Dalam tradisi kesufian banyak menceritakan tentang tindakan keberanian, rendah hati, serta gaya hidupnya yang cukup bertolak belakang dengan kihidupannya semasa menjadi Raja Balkh. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu'yam, Ibrahim bin Adham menekankan akan pentingnya ketenangan dan meditasi dalam melakukan pelatihan pengendalian tubuh dan jiwa. Rumi dalam Mansawi yang ditulisnya mejelaskan secara detail bagaimana kehidupan dari Ibrahim bin Adham. Salah satu murid Ibrahim bin Adham yang terkenal adalah Shaqiq al-Balki. Kehidupan Ibrahim bin Adham Dalam tradisi muslim, keluarga Ibrahim bin Adham berasal dari Kufah, namun ia dilahirkan di Balkh bagian wilayah Afganistan sekarang. Beberapa penulis mencoba menelusuri silsilah Ibrahim bin Adham hingga ke Abdullah, saudara Ja'far al-Sadiq anak dari Muhammad al-Baqir, cucu Husain bin Ali, salah satu silsilah keluarga paling penting dalam sejarah Sufi, namun sebagian besar penulis percaya bahwa silsilahnya berasal dari Umar bin Khattab. Sejarah kehidupan Ibrahim bin Adham dicatat oleh penulis besar abad pertengahan yakni Ibnu Asakir dan Bukhari. Ibrahim bin Adham terlahir dalam lingkungan masyarakat Arab yang tinggal di Balkh. Ia tercatat sebagai raja daerah tersebut pada sekitar tahun 730 Masehi, namun ia meninggalkan tahtanya dan memilih menjalani kehidupannya sebagai seorang petapa. Hal ini dilakukan oleh Ibrahim bin Adham setelah mendapat teguran dari Tuhan melalui penampakan Khidir sebanyak dua kali. Setelah mendapat teguran tersebut, Ibrahim bin Adham lalu memutuskan turun dari thatanya dan memilih menjalani kehidupannya sebagai pertapa di Suriah. Cerita ini berbeda dengan versi Kitab Ushfuriyah Semenjak melepaskan jabatannya sebagai raja, Ibrahim pun berangkat ke Naishapur dan hidup di dalam gua selama sembilan tahun. Selama dalam gua ia pernah bertemu dengan ular yang sangat besar, kemudian Ibrahim berdo'a kepada sang pencipta "Ya Allah, Engkau telah mengirim makhluk ini dalam bentuk yang halus, tetapi sekarang terlihat bentuknya yang sebenarnya yang sangat mengerikan. Aku tak sanggup melihatnya". Kemudian sang ular pun bergerak dan bersujud di depan Ibrahim sebanyak tiga kali. Kisah Aibrahim bin Adham Setelah dari pertapaan tersebut Ibrahim berangkat ke Makkah, dalam perjalanan ia pun melalui banyak kejadian yang luar biasa. Pada saat dia berada di Dzatul Irq, Ibrahim bin Adham bertemu dengan tujuh puluh orang yang berjubah kain perca yang tergeletak dengan darah yang mengalir dari hidung dan telinga mereka. Setelah 14 tahun berkelana pada padang pasir akhirnya beliau sampai ke Makkah dan hidup sebagai tukang kayu. Setelah kepindahannya pada tahun 750 Masehi, Ibrahim bin Adham memutuskan menjalani hidup secara semi-nomaden, terkadang Ibrahim bin Adham berjalan sampai jauh ke Selatan hingga ke wilayah Gaza. Semasa menjalani kehidupannya tersebut, Ibrahim bin Adham sangat menghindari untuk mengemis. Ia memilih bekerja membanting tulang tanpa mengenal lelah untuk mendapatkan uang sebagai sumber pembiayaan hidupnya sehari-hari. Pekerjaan yang biasa dilakukan olehnya antara lain menggiling jagung atau hanya sekedar merawat kebun. Ibrahim bin Adham juga diperkirakan ikut begabung dengan militer di perbatasan wilayah Byzantium dan kebanyakan ahli memperkirakan kematiannya disebabkan oleh salah satu ekpedisi angkatan laut yang diikuti olehnya. Guru spritual pertama Ibrahim bin Adham adalah seorang pendeta Kristen bernama Simeon. Ibrahim bin Adham meriwayatkan dialognya dengan sang pendeta melalui tulisan-tulisannya. Berikut kutipan percakapan mereka "Aku mengunjungi penjaranya, dan bertanya Aku kepadanya, "Bapa Simeon, sudah berapa lama Bapa terkurung di dalam sini?" "Sudah tujuh puluh tahun Aku di sini", jawabnya. "Apa yang menjadi makananmu?" tanyaku lagi. "Ya Hanafi", jawabnya, "apa yang menyebabkanmu menanyakan hal ini?" "Aku hanya ingin tahu" jawabku. Lalu ia berkata, "semalam sebiji kacang." Aku bertanya lagi, "apa yang membuat hatimu berkata bahwa sebiji kacang sudah cukup bagimu?" Ia lalu menjawab, "Kacang-kacang tersebut datang setahun sekali dan menghiasi selku dan aku memakannya sebiji setiap hari, aku menghormati kacang tersebut. Pada saat jiwaku mulai lelah beribadah, Aku selalu mengingatkan diriku pada satu waktu, waktu yang digunakan oleh para pekerja selama setahun untuk dapat bertahan selama sejam saja. Apakah engkau, Ya Hanifa, melakukan pekerjaan terus menerus untuk memperoleh kemuliaan yang kekal?" Sama seperti hanya para sufi yang lain, makam Ibrahim bin Adham juga memiliki sujumlah makam yang ada di berbagai tempat. Menurut Ibnu Asakir, Ibrahim bin Adham dimakamkan di sebuah pulau di Bizantium, sementara sumber lain menyatakan makamnya ada di Tirus, di Baghdad, ada juga yang menyatakan bahwa makamnya ada di kota Nabi Luth. Pendapat lain juga mengatakan makam Ibrahim bin Adham terletak di dalam gua Yeremia di Yerusalem, dan pendapat terakhir menyatakan bahwa makam Ibrahim bin Adham terletak di kota Jablah sekitar pantai Suriah. Ibrahim bin Adham dalam Sejarah dan Karya Sastra Kisah kehidupan Ibrahim bin Adham, sang sufi, yang terkenal di zaman pertengahan bisa saja adalah sebuah cerita yang murni tengtang dirinya. Namun beberapa ahli meyakini bahwa kish hidupnya yang sederhana tersebut telah dibumbui dengan berbagai cerita fiksi sehingga membuat kisahnya menjadi lebih menarik. Kitab memorial para Sufi Persia yang ditulis oleh Attar menjadi salah satu kitab yang paling sering dijadikan rujukan dalam mengisahan perubahan sang Ibrahim bin Adham dari seorang Raja Balkh menjadi seorang petapa yang meninggalkan tahtanya. Cerita Ibrahim bin Adham yang tercatat dalam Memorial Persia tersebut tersebar hingga ke wilayah India dan Indonesia. Namun cerita tersebut semakin ditambai dengan cerita-cerita fiksi lainnya sehingga semakin menarik. [
abuishaq ibrahim bin adham, lahir di balkh dari keluarga bangsawan arab, di dalam legenda sufi disebutkan sebagai seorang pangeran yang meninggalkan kerajaannya - mirip dengan kisah gautama budha - lalu mengembara kearah barat untuk menjalani hidup pertapaan yang sempurna sambil mencari nafkah melalui kerja kasar yang halal hingga
JAKARTA - Selain ada beragam mazhab fikih dan pemikiran, di tengah masyarakat Islam juga muncul praktik tasawuf. Kata tasawuf berasal dari sejumlah kata. Sebut saja, misalnya, kata saff yang berarti barisan dalam shalat berjamaah. Ini merujuk pada seorang sufi atau pelaku tasawuf yang selalu memilih saf terdepan dalam shalat juga mempunyai iman kuat dan hati bersih. Kata lainnya adalah suffah, bermakna pelana yang digunakan para sahabat Nabi Muhammad yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku batu di samping Masjid Nabawi, Madinah. Arti lain dari suffah ini adalah kamar yang disediakan para sahabat dari golongan Muhajirin yang miskin. Penghuni suffah disebut sebagai ahl as-suffah. Mereka mempunyai sifat teguh pendirian, takwa, zuhud, dan tekun beribadah. Peneliti tasawuf Abu al-Wafa’ al-Ganimi at-Taftazani melalui karyanya, Madkhal ila at-Tasawuf al-Islami Pengantar ke Tasawuf Islami, mengungkapkan mengenai karakteristik menilai, tasawuf mengandung lima ciri umum, yaitu memiliki nilai-nilai moral, pemenuhan fana dalam realitas mutlak, pengetahuan intuitif langsung, timbulnya rasa bahagia karena tercapainya tingkatan-tingkatan spiritual, dan penggunaan simbol-simbol untuk pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat. Ensiklopedi Islam menjelaskan, benih-benih tasawuf sudah ada pada kehidupan Nabi Muhammad lewat perilaku dan peristiwa dalam hidup beliau. Sebelum diangkat menjadi rasul, selama berhari-hari beliau berkhalwat di Gua Hira, terutama saat Ramadhan, melakukan zikir dan bertafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah diri Muhammad di Gua Hira ini menjadi acuan utama para sufi melakukan khalwat. Puncak kedekatan Rasul dengan Allah tercapai ketika melakukan perjalanan Isra dan Mi’raj. Ibadah beliau juga merupakan cikal bakal tasawuf. Dia adalah orang yang paling tekun dalam menjalani ibadah. Akhlak beliau pun menjadi acuan para lain yang menjadi rujukan para sufi adalah kehidupan empat sahabat Rasulullah, khususnya yang berhubungan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan, dan budi pekerti mereka. Apalagi para sahabat ini adalah murid langsung Rasulullah, yang meneladani dalam perilaku praktik sufi ini, juga ada proses bergulir yang juga merupakan respons atas kondisi sosial yang ada. Saat Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan kekhalifahan Islam, banyak kalangan menilai sikap bermewah-mewahan telah meracuni umat Islam kala itu. Kemudian, ada yang meresponsnya dengan mempraktikkan hidup saat itu, hidup zuhud menyebar luas. Tokoh tabiin pertama yang menjalani hidup semacam itu adalah Sa’id bin Musayyab. Ia banyak memperoleh pendidika dari mertuanya, Abu Hurairah. Di Kota Basra, Irak, muncul nama Hasan al-Basri. Ia dikenal dengan kezuhudannya. Tokoh lainnya di Basra adalah Malik bin akhir abad ke-2 Hijriah, terjadi peralihan dari fenomena zuhud ke tasawuf mulai tampak. Pada masa ini juga, muncul analisis-analisis singkat tentang kesufian. Salah satu tokoh pada masa itu yang condong pada kajian tasawuf adalah Ibrahim bin Adham di Khurasan. Sosok lainnya, Fudail bin Iyad, asal Khurasan yang meninggal di kemudian hari, juga ada Rabiah al-Adawiyah. Pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriah, kajian-kajian soal tasawuf bermunculan. Ada dua kecenderungan yang lahir dari kajian tasawuf itu. Pertama, cenderung pada kajian bersifat akhlak yang berdasarkan Alquran dan kecenderungan lainnya adalah kajian tasawuf filsafat dan banyak berbaur dengan kajian filsafat metafisika. Pada abad ke-5 Hijriah, kajian tasawuf akhlak lebih dominan. Sufi penting yang muncul pada masa itu, di antaranya adalah Abu Qasim Abdul Karim abad ke-5 Hijriah, puncak perkembangan tasawuf pada abad selanjutnya, terutama pada abad ke-6 dan ke-7, berfokus pada Ibnu Arabi yang mengusung konsep Wahdatul Wujud. sumber Harian RepublikaBACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini
. 388 332 195 263 458 357 407 279